Bersinergi Bersama Demi Air Jakarta

DSC_0336_1920x1080

Jakarta. Warta Kota – Jakarta diprediski akan terus mengalami penurunan sumber air bersih. Selain fenomena alam dengan musim kemaraunya, kondisi ini diperparah denga perilaku keliru penduduk DKI Jakarta dalam mengonsumsi air tanah. Di mana, banyak rumah tangga dan pelaku industri yang memilih menggunakan air sumur ketimbang berlangganan air perpipaan. Efek yang di timbulkan adalah turunnya permukaan tanah atau land subsidence.

Firdaus Ali, ahli hidrologi dari Universias Indonesia, beberapa waktu lalu, mengatakan, pemerintah tak akan bisa membatasi pengeboran air tanah dalam, jika tak mampu menyediakan air baku berkualitas dan terjangkau.

Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta mencatat, 8,8 juta meter kubik air tanah disedot dari 4.437 titik sumur yang terdaftar. Jumlah tersebut, menurut Firdaus Ali, belum mencakup pengguna air tanah ilegal alias tak berizin yang jumlahnya bisa lima kali lipatnya. Padahal, seharusnya, pengeboran dengan kapasitas 1000 meter kubik, harus seizin Gubernur DKI Jakarta.

Kondisi tak kalah mengkhawatirkan lainnya adalah tingkat kerawanan air baku di Jakarta semakin parah. Semua sungai di Ibu Kota tercemar polutan, baik itu dari sampah rumah tangga maupun dari industri.

Menurut studi Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta terhadap kondisi 13 sungai yang ada di Jakarta pada 2014, hanya 1 persen aliran sungai yang indeks pencemarannya masuk kategori baik. Sebanyak 99 persen sisanya termasuk dalam kategori tercemar ringan hingga berat.

Firdaus Ali yang juga Direktur Indonesia Water Institute (IWI) mengatakan, tidak satupun sungai di Jakarta yang air bakunya layak untuk diolah menjadi air bersih.

“Kalau pun ada (yang bisa diolah), itu harus menggunakan tambahan teknologi yang biayanya mahal. Kalau sesuai aturan dan regulasi, sebenarnya enggak ada air baku yang layak diolah sama sekali,” ujar Firdaus beberapa waktu lalu.

Menurut catatan IWI, hanya 3 persen air baku dari sungai Jakarta yang bisa diolah menjadi air bersih. Sebanyak 81 persen kebutuhan air baku diperoleh dari Waduk Jatiluhur dan sebanyak 16 persen lainnya berupa air olahan yang dibeli dari Tangerang.

“Di seluruh dunia, hanya Jakarta ketahanan air bakunya hanya 3 persen. Enggak ada kota lain di dunia yang air bakunya seburuk ini. Bahkan kota seperti Boston dan Chicago, meskipun cuma punya satu sungai, air bakunya bisa mencukupi kebutuhan penduduk setempat,” cetus Firdaus.

Buruknya kondisi air baku di Jakarta terutama disebabkan tata kelola limbah dan sampah yang berantakan. Hampir tidak ada jaringan perpipaan khusus yang dibuat untuk mengalirkan limbah.

Selain itu, menurut Firdaus, kebanyakan warga Jakarta juga kerap berperilaku primitif dengafi membuang, sampah ke badan sungai.

Lebih jauh. Firdaus menjelaskan, ketiadaan air baku ini menghadirkan beragam ekses negatif. Salah satunya, operator penyedia air bersih tidak bisa meningkatkan produksi air bersih untuk memenuhi kebutuhan sekitar 10,1 juta warga Jakarta.

Menurut studi yang dilakukan PAM Jaya dan operator, kebutuhan air bersih di Jakarta semakin bertambah seiring naiknya jumlah populasi dan pesatnya pembangunan.

Kebutuhan air bersih di Jakarta mencapai 26.100 liter per detik sedangkan operator penyedia air bersih hanya mampu menyediakan sebanyak 17.000 liter per detik. Kondisi itu kemudian menyebabkan warga Jakarta, terutama masyarakat miskin, berbondong-bondong menyedot air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perilaku ini tidak disertai upaya mengisi kembali air tanah yang dieksploitasi.

Sumber air baku untuk wilayah barat Jakarta yang lebih mengkhawatirkan. Sebanyak 94,3 persen pasokan air baku berasal dari luar Jakarta. Dan hanya 5,7 persen berasal dari air sungai di dalam Jakarta. Dari total angka 94,3 persen itu, sumber air baku terbenar berasal dari Waduk Jatiluhur yang memasok 62,5 persen air baku.

Direktur Utama PAM Jaya, Erlan Hidayat, mengungkapkan, kebutuhan air baku untuk wilayah Jakarta juga dipasok dari PDAM Tangerang sebesar 31 persen dan Cikokol sebesar 0,8 persen.

Pasokan air baku dalam bentuk air curah olahan dari Tangerang tanpa musim kemarau berkepanjangan seperti saat ini sudah seringkah terganggu dikarenakan kebutuhan air bersih di kota tetangga Jakarta tersebut juga semakin meningkat.

Sementara itu pasokan air baku dari waduk Jatiluhur jika musim kemarau saat ini tak kunjung berakhir bukan tak mungkin, dalam waktu dekat juga akan mengalami penurunan.

Presiden Direktur PALYJA Alan Thompson, menyebutkan, tingkat polutan di beberapa sungai di Jakarta cukup mengkhawatirkan. Salah satunya adalah Kali Krukut.

“Saat kemarau beberapa waktu lalu tingkat polutan di Kali Krukut sudah melampaui batas aman dan terlalu tinggi untuk diolah oleh Instalasi Pengolahan Air (IPA) Cilandak. Saat itu produksinya kami turunkan dari 400 liter per detik menjadi 200 liter per detik,” kata Alan.

Sementara tingkat keasinan (salinitas) dan jumlah partikel padat terlarut atau total dissolved solid (TDS) di Kali Cengkareng Drain, lanjutnya, di luar batas normal. “Sehingga kami harus menurunkan produksi bahkan sampai menghentikan produksi instalasi pengolahan air (IPA) Taman Kota,” kata Alan. Tahun ini kami sedang dalam proses implenientasi MBBR di Cilandak , dan kami berharap tidak mengalami dampak kemarau seperti sebelumnya.

Perluas kerja sama

Untuk mengatasi permasalahan krisis air saat ini dan juga di masa depan, diperlukan sinergi dan peran serta harus dikoordinasikan dengan baik. PALYJA sendiri sudah menginisiasi wadah yang merangkul pemangku kepentingan, khususnya pihak-pihak yang peduli dengan air bersih, seperti Fortim Air Jakarta.

Presiden Direktur PALYJA Alan Thompson menjelaskan pentingnya kesadaran, keterlibatan dan aksi mengkampanyekan “Bersama Demi Air” dari semua pemangku kepentingan.

Tugas penyedia air bersih di Jakarta tidak bisa ditanggung oleh satu pihak saja, atau satu institusi saja. Dibutuhkan komitmen dan kemitraan yang kuat antar instansi terkait termasuk Pemprov DKI, PAM Jaya, Perum Jasa Tirta 2 (PJT 2) Pemerintah Pusat seperti Kementerian PUPR, pihak swasta dan pihak-pihak terkait lainnya. “PALYJA siap mempererat dan memperluas kerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki kewenangan berbeda-beda dalam penyediaan air bersih,” tutur Alan.

PALYJA menyadari selama 18 tahun keberadaannya melayani masyarakat bagian barat Jakarta, tak lepas dari kemitraan dan dukungan dari berbagai instansi, termasuk Pemprov DKI Jakarta dan PAM Jaya.

“Kami siap untuk melanjutkan hubungan kemitraan yang lebih erat dengan berbagai instansi demi peningkatan ketersediaan air bersih. Sinergi antar instansi yang kuat akan sangat menguntungkan warga Jakarta supaya mereka mendapatkan akses air bersih dengan kualitas, kuantintas dan kontinuitas yang selalu memadai,” kata Alan.

sumber : Warta Kota, 3 Mei 2016, Hal. 39