Ketika Air Bersih Jadi Tumpuan Hidup Masyarakat

Jakarta, Ekonomi neraca – Berkembang pesatnya populasi masyarakat di Jakarta dari tahun ke tahun sebagai kota metropolitan menyisakan banyak masalah, selain persoalan banjir dan kemacetan. Hal yang paling menyedihkan adalah minimnya pasokan air bersih sebagai kebutuhan hidup. Hal ini sangat beralasan, karena 13 sungai besar sebagai sumber air baku atau olahan menjadi air bersih di Jakarta dinilai sudah tidak layak karena tercemar oleh limbah dan buruknya satinasi. Saat ini, Jakarta membutuhkan air baku setidaknya 26.200 liter per detik untuk memenuhi kebutuhan air bersih 10 juta penduduknya.

Sementara, saat ini ketersediaan air baku hanya 17.000-an liter per detik. Artinya, masih defisit sekitar 9.100-an liter air per detik. Sedangkan untuk satu keluarga dibutuhkan 10 ribu liter per bulan. Hanya saja, ketersediaan ketahanan air di Jakarta hanya 3 persen dari total kebutuhan. Gubernur DKI Jakarta, Basuki , Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan, tantangan krisis air di perkotaan adalah akses air bersih. “Saat ini, baru 60% warga Jakarta yang mendapatkan akses air bersih melalui air perpipaan.”ujarnya.

Artinya masih ada sekitar 40% penduduk Jakata belum mendapatkan akses air bersih perpipaan yang memenuhi persyaratan kualitas air berdasarkan Permenkes No.492/201. Sehingga mereka masih mengkonsumsi air tanah yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Maka disadari atau tidak, persoalan keterbatasan pasokan air bersih bila tidak ditangani dengan segera akan menjadi bom waktu dan memicu konflik sosial ekonomi di masyarakat. Tentunya, persoalan air bersih tidak semata menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja atau pihak swasta selaku pengelola air bersih tetapi partisipasi masyarakat sebagai pengguna.

Merespon hal tersebut, PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) selaku operator penyediaan dan pelayanan air bersih untuk wilayah Barat DKI Jakarta, secara aktif kampanyekan “Bersama Demi Air” dengan menyelenggarakan serangkaian kegiatan guna mendorong kebersaamaan menjaga ketersediaan air Jakarta. Bagaimanapun juga menyediakan air bersih bukanlah perkara mudah. Kualitas air permukaan untuk dijadikan air baku di Jakarta sering kali tidak memenuhi standar. Buktinya, sumber air baku dari dalam kota Jakarta hanya 5,7% dari total air baku yang dibutuhkan PALYJA sebagai salah satu operator penyedia air bersih di Jakarta.

Air baku untuk wilayah Jakarta diperoleh dari Kali Krukut sebanyak 4% dan Cengkareng Drain sebanyak1,7%. Sedangkan 94,3% air baku lainnya bersumber dari luar Jakarta, yaitu dari Waduk Jatiluhur 62,5%, Instalasi Pengolahan Air (IPA) Serpong 31%, dan IPA Cikokol 0,8%.

Meyritha Maryanie, Corporate Communications PT PALYJA bilang, defisit air bersih karena kebutuhan air bersih warga Jakarta yang meningkat tiap tahunnya. Ironisnya, hal ini diperburuk dengan prilaku masyarakat seputar Jakarta yang tiap harinya membuang sekitar 1.316.113 meter kubik air limbah. Sebagian besar mengalir melalui saluran air, kemudian masuk ke sungai. Akibatnya, 13 sungai besar yang melintasi wilayah Jakarta tercemar. Karena sudah tercemar, air di 13 sungai besar tersebut tidak layak untuk dijadikan air baku. “Yang dimaksud dengan air baku adalah air yang menjadi bahan baku PALYJA untuk kemudian diolah menjadi air bersih yang layak untuk diminum.”ujarnya.

Kemudian akses terhadap bahan baku makin sulit bila datang musim hujan karena air bersih tercampur dengan air keruh. Saat hujan, endapan lumpur juga membuat air semakin keruh. “Biasanya kami bingung kalau air di Jatiluhur dibuang ke laut,” kata Meyritha. Apalagi pelanggannya yang membutuhkan air mencapai 405 ribu.

Inovasi PALYJA

Saat ini, kebutuhan air bersih warga Jakarta sangat bergantung pada air dari Waduk Jatiluhur dan Tangerang. Namun hal ini juga menjadi tantangan kedepan yang semakin berat karena perkembangan kota Tangerang yang semakin pesat. Dengan demikian kebutuhan air bersih untuk kota Tangerang juga akan meningkat. Karenanya, ancaman bagi ketahanan air bersih Jakarta akan semakin besar lagi jika keadaan tidak berubah. Selain itu, kenaikan biaya produksi air bersih ikut mempengaruhi harga air curah atau olahan dari PDAM Tangerang. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi PALYJA untuk mencukupi kebutuhan air bersih pelanggannya. Terutama, karena tarif air bersih di Jakarta sendiri yang sejak tahun 2007 belum pernah mengalami kenaikan.

Maka mensiasati hal tersebut, PALYJA berencana membuat program normalisasi air sungai agar dapat diolah dan dikonsumsi masyarakat. Deputy Director Technical Services PALYJA, Barce Simarmata menambahkan, pemanfaatan air kanal banjir barat yang menghasikan 500 liter/ detik dengan menerapkan teknologi pengolahan secara biologis MBBR (MovingBed Biofilm Reaction). Proses tersebut dapat menurunkan kadar pencemaran logam yang terdapat di air sungai seperti Amonium, Besi, Mangan, dan Organik.

“Melalui teknologi tersebut dapat dihasilkan air bersih yang memenuhi standar kualitas air bersih yang disyaratkan Kemenkes,” katanya.

Tidak hanya itu, dalam meningkatkan pelayanan akses air bersih kepada masyarakat, PALYJA juga melakukan optimalisasi Booster Pump TB Angke untuk kawasan Barat Jakarta. Kegiatan tersebut akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembongkaran jaringan pipa existing dan singgem pipa inlet. Untuk tahap kedua, yaitu pemasangan jaringan pipa baru. Asal tahu saja, optimalisasi Booster Pump ini dilakukan untuk meningkatkan pelayanan air bersih kepada pelanggan dengan menambah tekanan yang lebih besar. Tujuannya supaya pelanggan yang lokasinya jauh dari instalasi dapat terlayani dengan baik.

Tentunya berbagai inovasi dan terobosan yang dilakukan PALYJA guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih tidak bisa berjalan sendiri tanpa ada dukungan dari para stakeholder masyarakat. Sebagai informasi, saat ini PALYJA telah melayani lebih dari 3 juta masyarakat Jakarta yang tinggal di wilayah barat sungai Ciliwung. Dengan kata lain peningkatan populasi yang terlayani mencapai 2 kali lipat sejak tahun 1998 yang melayani hanya 1,5 juta orang. Dari peningkatan jumlah pelanggan tersebut, pertumbuhan pelanggan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sangat signifikan. Sejak tahun 1998 masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang dilayani telah meningkat lebih dari

8 kali lipat, dari 60.000 penduduk menjadi lebih dari 500.000 penduduk. Sementara jumlah sambungan air bersih PALYJA hingga akhir tahun 2015 telah mencapai lebih dari 405.000. Angka tersebut juga telah meningkat lebih dari 2 kali lipat sejak tahun 1998 sekitar 200.000 sambungan.

Sumber: Ekonomi Neraca, 14 Mei 2016, Halaman 7