Mencegah Jakarta Krisis Air

Jakarta, Koran Tempo – Dua jeriken dan tangki air teronggok di sudut unit rumah susun Sahari di Pluit, Jakarta Utara. Tangki air 50 liter itu dipakai perempuan 38 tahun ini untuk menampung air yang ia beli. Untuk memasak, Sahari memakai satu tangki air seharga Rp 20 ribu yang habis hanya dua hari. Walhasil, penduduk asal Makassar ini harus menganggarkan Rp 500 ribu per bulan untuk membeli air. “Saya tak berani memakai air yang disediakan pengelola rumah susun karena bau kaporit,” kata dia kepada Tempot Kamis lalu.

Sahari tak sendiri. Ratusan keluarga lainnya di Rumah Susun Pluit pun terpaksa membeli air untuk memasak. Akibatnya, banyak tangki air dan selang yang terserak di antara blok-blok rumah susun. Air yang dibeli Sahari itu dipasok oleh PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA).

Deputi Direktur Tbknik dan Pelayanan PALYJA Barce Simarmata mengatakan pada Agustus nanti PALYJA akan menambah suplai air ke Rumah Susun Pluit. “Kami tinggal menunggu pompa dan pipa air terpasang saja,” ujar dia.

Rencananya, melalui proyek Muara Baru, PALYJA, kata Barce, akan menambah suplai air ke Muara Baru dan wilayah sekitarnya hingga 100 liter per detik. Sejak Mei tahun lalu, perusahaan air asal Prancis itu mendapatkan pasokan air baku dari kanal banjir barat sebesar 550 liter per detik dengan menggunakan teknologi moving bed biofilm reactor (MBBR).

Ini teknologi yang relatif baru dan baru PALYJA, dari tiga perusahaan penyedia air di Jakarta, yang memakai teknologi ini. Ini teknologi menanamkan mikroorganisme ke dalam air yang berfungsi memakai polutan. Soalnya, air baku di Jakarta tak ada yang layak. Dengan teknologi ini, kata Barce, PALYJA akan memakai air di Jakarta meski polutif.

Kepala Bidang Air Tanah dan Air Bersih Dinas Tata Air DKI, Dedi Kusfriadi, mengatakan sebagian besar air baku yang dipasok PALYJA dan Aetra sangat bergantung pada pasokan dari Waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat. Adapun sisanya mengandalkan air dari Kali Cisadane dan Kali Krukut serta pengolahan air di dalam kota.

Ahli tata air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ah, mengatakan ketahanan air Jakarta hanya 3 persen. Penyebabnya, kebutuhan air tinggi tak didukung ketersediaan sumber air baku. “Jakarta tak memiliki banyak cadangan air,” ujar dia.

Alhasil, penduduk yang bukan pelanggan air memakai air tanah. Masalahnya, eksploitasi air tanah secara besar-besaran menyebabkan penurunan permukaan tanah Jakarta. “Untuk mencegahnya, pemerintah DKI harus membangun banyak waduk dan daerah serapan air,” kata dia.

Dengan teknologi mikroorganisme itu, Barce memperkirakan PALYJA bisa memasok air hingga 8.900 liter per detik, meskipun belum cukup memenuhi kebutuhan jumlah pelanggan PALYJA yang mencapai 405 ribu. Berdasarkan kajian PALYJA, untuk mencukupi kebutuhan masyarakat, perusahaan air yang beroperasi di Barat Jakarta itu PALYJAharus menyediakan 11.813 liter per detik pada tahun ini. Pada 2020, PALYJA memperkirakan jumlah air baku yang harus disuplai mencapai 13.566 per detik.

Kebutuhan untuk pelanggan seluruh Jakarta mencapai 26.100 liter per detik untuk 3 juta pelanggan atau 30 persen penduduk Jakarta. PALYJA dan Aetra, operator air di timur Jakarta, baru dapat menyuplai 17 ribu liter per detik. Alhasil, ada kekurangan sebesar 9.100 liter per detik. “Permintaan banyak tetapi kami kekurangan sumber air baku,” Barce mengeluh.

Kekurangan sumber air baku ini pun diperparah dengan adanya non revenue water (NRW) atau tingkat kehilangan air. Pada tahun lalu, tingkat kehilangan air di PALYJA mencapai 39,3 persen dari jumlah air yang diproduksi.

Tak hanya proyek Muara Baru, PALYJA juga tengah mengerjakan proyek Kuningan. Melalui proyek itu, PALYJA berencana menambah pasokan air baku yang berasal dari kanal banjir barat ke daerah Kuningan, Jakarta Selatan, hingga 200 liter per detik. Proyek itu ditargetkan rampung akhir tahun ini.

sumber: Koran Tempo, Sabtu 16 Juli 2016